Ada seorang pria bernama Nasrudin. Ia  berlari menemui raja di istana. "Celaka, celaka!", ujarnya. "Ada apa,  kenapa kamu panik Nasrudin?", kata raja. Nasrudin menjawab, "Tuhan  sedang murka dengan dunia, Tuhan akan membinasakan manusia". "Kenapa  kamu berkesimpulan seperti itu?" tanya raja. Nasrudin berkata, "Tadi  ketika aku bangun tidur, aku merasa dunia membusuk, aku mencium bayu  busuk dimana, di rumah, di laru rumah, pohon-pohon, semua bau busuk.  Celaka, Tuhan akan menghukum dunia!".
"Tenang Nasrudin, tarik nafasmu dalam-dalam, minumlah segelas air putih, lalu pergilah ke toilet, bersihkan dirimu juga kumismu dengan sabun", kata raja.
"Tenang Nasrudin, tarik nafasmu dalam-dalam, minumlah segelas air putih, lalu pergilah ke toilet, bersihkan dirimu juga kumismu dengan sabun", kata raja.
Setelah datang dari toilet, Nasrudin  merasa segar, semua bau busuk hilang. Ia bertanya kepada raja, "Aku  heran, kemana semua bau busuk tadi?". Raja tertawa lalu berkata,  "Sebenarnya tidak ada bau busuk itu, bau busuk itu berasal dari kumismu.  Coba kamu ingat-ingat, semalam kamu tidur dimana dan bersama siapa?".  Ternyata Nasrudin tidur bersama anak bungsunya, dan anak bungsunya  memegang kotorannya sendiri, lalu memegang kumis Nasrudin.
Nasrudin kembali ke rumah, dan yakin dunia tidak sebau yang dia bayangkan.
Nasrudin kembali ke rumah, dan yakin dunia tidak sebau yang dia bayangkan.
Kita sering melihat dunia busuk. Cerita  ini memberi  pesan, hendaknya kita membersihkan dulu diri kita, hati  kita dan pikiran kita dari prasangka negatif, dari konsep yang belum  tentu benar, dari teori-teori yang belum terbukti, dan sebelum kita  melakukan penghinaan pada orang lain dan dunia.
Cerita ini mengajarkan, kalau kita  menggunakan mata yang suci, fikiran yang bersih, jiwa yang bening, dan  hati yang tulus, maka kita akan mampu melihat perkara yang bersih dan  hal baik. Kita mampu melihat begitu banyak rahmat dan karunia melimpah  di dalam dan melalui pekerjaan kita. Begitulah cara kita dapat melihat   Tuhan dengan segenap rahmat, berkat dan anugrah. Mata batin yang mau  melihat sampai ke jantung persoalan, ke hakihatnya yang terdalam, akan  menolong kita mampu bergaul dengan rahmat, hidup dalam anugurah, dan  berkolaborasi dengan roh kebaikan, sehingaa kita menikmati dan  memproduksi kebajikan didalam dan melalui perkerjaan kita. Itulah esensi  ethos pertama. Hidup adalah rahmat. Aku hendak hidup dalam tulus dan  penuh rasa syukur. Aku bekerja penuh rasa syukur. (Jansen Sinamo, Smart Ethos, Smartfm)