4. Melawan Keserakahan Penjajah
a. Perlawanan terhadap Persekutuan Dagang
Kamu tentu tidak asing dengan gambar
Sultan Hasanuddin di samping. Tokoh ini sangat
ditakuti Belanda karena ketangguhannya dalam
melawan Belanda, sehingga beliau disebut
sebagai “ayam jantan dari timur”. Sultan
Hasanuddin adalah raja Gowa di Sulawesi
Selatan. Suatu ketika Kerajaan Gowa (Sultan
Hasanuddin) dan Talo (Arung Palaka) berselisih
paham. Hal ini dimanfaatkan VOC dengan
mengadu domba kedua kerajaan tersebut. VOC
memberikan dukungan, sehingga Talo menang
saat perang dengan Gowa tahun 1666. Sultan
Hasanuddin dipaksa menandatangani perjanjian
Bongaya 18 November tahun 1667.
Perjanjian Bongaya baru terlaksana tahun 1669 karena Sultan Hasanuddin masih
melakukan perlawanan kembali. Akhirnya Makassar harus menyerahkan benteng
kepada VOC. Sejak masa itu tidak ada lagi kekuatan besar yang mengancam
kekuasaan VOC di Indonesia Timur.
Perjanjian Bongaya telah memangkas kekuasaan kerajaan Gowa sebagai kerajaan
terkuat di Sulawesi. Tinggal kerajaan-kerajaan kecil yang sulit melakukan perlawanan
terhadap VOC.
Kisah di atas merupaakan salah satu contoh perlawanan rakyat Indonesia di
Sulawesi Selatan terhadap persekutuan dagang VOC. Masih banyak perlawanan di
berbagai daerah dalam melawan persekutuan dagang Eropa di Indonesia. Kegiatan
belajar berikut ini akan membantu kamu menelusuri berbagai perlawanan di berbagai
daerah dalam menentang persekutuan dagang Barat.
Perjanjian Bongaya adalah perjanjian antara Sultan Hasanuddin dengan VOC,
yang isinya:
1) VOC mendapatkan wilayah yang direbut oleh Sultan Hasanuddin selama perang
Gowa dan Tallo.
2) Bima diserahkan kepada VOC.
3) Kegiatan pelayaran para pedagang Makassar dibatasi dibawah pengawasan
VOC.
4) Penutupan Makassar sebagai bandar perdagangan bagi bangsa Barat, kecuali
VOC.
5) Monopoli oleh VOC.
6) Alat tukar/mata uang yang digunakan di Makassar adalah mata uang Belanda.
7) Pembebasan cukai dan penyerahan 1.500 budak kepada VOC.
Pada tahun 1799 terjadi peristiwa penting dalam sejarah kolonialisme dan
imperialisme Barat di Indonesia. VOC dinyatakan bangkrut hingga dibubarkan.
Keberadaan VOC sebagai kongsi dagang yang menjalankan roda pemerintahan di
negeri jajahan seperti di Indonesia tidak dapat dilanjutkan lagi. Pada tanggal 31
Desember 1799 VOC dinyatakan bubar. Semua utang piutang dan segala milik VOC
diambil alih oleh pemerintah Belanda. Setelah dibubarkannya VOC Indonesia berada
langsung di bawah pemerintah Hindia Belanda.
b. Perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda
Beberapa contoh perlawanan rakyat Indonesia
terhadap Pemerintah Hindia Belanda adalah sebagai berikut:
1) Perang Saparua di Ambon
Merupakan perlawanan rakyat Ambon dipimpin Thomas Matulesi (Pattimura).
Dalam pemberontakan tersebut, seorang pahlawan wanita bernama Christina
Martha Tiahahu melakukan perlawanan dengan berani. Perlawanan Pattimura dapat
dikalahkan setelah bantuan pasukan Belanda dari Jakarta datang. Pattimura bersama
tiga pengikutnya ditangkap dan dihukum gantung.
2) Perang Paderi di Sumatra Barat
Merupakan perlawanan yang sangat menyita tenaga dan biaya sangat besar bagi
rakyat Minang dan Belanda. Bersatunya Kaum Paderi (ulama) dan kaum adat melawan
Belanda, menyebabkan Belanda kesulitan memadamkannya. Bantuan dari Aceh juga
datang untuk mendukung pejuang Paderi. Belanda benar-benar menghadapi musuh
yang tangguh.
Belanda menerapkan sistem pertahanan Benteng Stelsel. Benteng Fort de
Kock di Bukit tinggi dan Benteng Fort van der Cappelen merupakan dua benteng
pertahanannya. Dengan siasat tersebut akhirnya Belanda menang ditandai jatuhnya
benteng pertahanan terakhir Paderi di Bonjol tahun 1837. Tuanku Imam Bonjol
ditangkap, kemudian diasingkan ke Priangan, kemudian ke Ambon, dan terakhir di
Menado hingga wafat tahun 1864.
3) Perang Diponegoro 1825-1830
Perang Diponegoro merupakan salah satu perang besar yang dihadapi Belanda.
Latar belakang perlawanan Pangeran Diponegoro diawali dari campur tangan
Belanda dalam urusan politik Kerajaan Yogyakarta. Beberapa tindakan Belanda yang
dianggap melecehkan harga diri dan nilai-nilai budaya masyarakat menjadi penyebab
lain kebencian rakyat kepada Belanda. Belanda membangun jalan baru pada bulan
Mei 1825. Mereka memasang patok-patok pada tanah leluhur Diponegoro. Terjadi
perselisihan saat pengikut Diponegoro Patih Danureja IV mencabuti patok-patok
tersebut. Belanda segera mengutus serdadu untuk menangkap Pangeran Diponegoro.
Perang tidak dapat dihindarkan, pada tanggal 20 Juli Tegalrejo sebagai basis pengikut
Diponegoro direbut dan dibakar Belanda.
Pada bulan Maret 1830 Diponegoro bersedia mengadakan perundingan dengan
Belanda di Magelang, Jawa Tengah. Perundingan tersebut hanya sebagai jalan
tipu muslihat karena ternyata Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado,
kemudian ke Makasar hingga wafat tahun 1855. Setelah berakhirnya Perang Jawa
(Diponegoro), tidak lagi muncul perlawanan yang lebih berat di Jawa.
4) Perang Aceh
Semangat jihad (perang membela agama Islam) merupakan spirit perlawanan
rakyat Aceh. Jendral Kohler terbunuh saat pertempuran di depan masjid Baiturrahman
Banda Aceh. Kohler meninggal dekat dengan pohon yang sekarang diberi nama
Pohon Kohler. Siasat konsentrasi stelsel dengan sistem bertahan dalam benteng besar
oleh Belanda tidak berhasil. Belanda semakin terdesak, korban semakin besar, dan
keuangan terus terkuras.
Belanda sama sekali tidak mampu menghadapi secara fisik perlawanan rakyat
Aceh. Menyadari hal tersebut, Belanda mengutus Dr. Snouck Hurgroje yang
memakai nama samaran Abdul Gafar seorang ahli bahasa, sejarah ,dan sosial Islam
untuk mencari kelemahan rakyat Aceh. Setelah lama belajar di Arab, Snouck Hugronje
memberikan saran-saran kepada Belanda mengenai cara mengalahkan orang Aceh.
Menurut Hurgronje, Aceh tidak mungkin dilawan dengan kekerasan, sebab karakter
orang Aceh tidak akan pernah menyerah, jiwa jihad orang Aceh sangat tinggi.
Taktik yang paling mujarab adalah dengan mengadu domba antara golongan
Uleebalang (bangsawan) dengan ulama. Belanda menjanjikan kedudukan pada
Uleebalang yang bersedia damai. Taktik ini berhasil, banyak Uleebalang yang tertarik pada tawaran Belanda. Belanda memberikan tawaran kedudukan kepada
para Uleebalang apabila kaum ulama dapat dikalahkan. Sejak tahun 1898 kedudukan
Aceh semakin terdesak. Belanda mengumumkan perang Aceh selesai tahun 1904.
Namun demikian perlawanan sporadis rakyat Aceh masih berlangsung hingga tahun
1930-an.
(Sumber: di kutip dari e-book Ilmu Pengetahuan Sosial K-13 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan)
a. Perlawanan terhadap Persekutuan Dagang
Kamu tentu tidak asing dengan gambar
Sultan Hasanuddin di samping. Tokoh ini sangat
ditakuti Belanda karena ketangguhannya dalam
melawan Belanda, sehingga beliau disebut
sebagai “ayam jantan dari timur”. Sultan
Hasanuddin adalah raja Gowa di Sulawesi
Selatan. Suatu ketika Kerajaan Gowa (Sultan
Hasanuddin) dan Talo (Arung Palaka) berselisih
paham. Hal ini dimanfaatkan VOC dengan
mengadu domba kedua kerajaan tersebut. VOC
memberikan dukungan, sehingga Talo menang
saat perang dengan Gowa tahun 1666. Sultan
Hasanuddin dipaksa menandatangani perjanjian
Bongaya 18 November tahun 1667.
Perjanjian Bongaya baru terlaksana tahun 1669 karena Sultan Hasanuddin masih
melakukan perlawanan kembali. Akhirnya Makassar harus menyerahkan benteng
kepada VOC. Sejak masa itu tidak ada lagi kekuatan besar yang mengancam
kekuasaan VOC di Indonesia Timur.
Perjanjian Bongaya telah memangkas kekuasaan kerajaan Gowa sebagai kerajaan
terkuat di Sulawesi. Tinggal kerajaan-kerajaan kecil yang sulit melakukan perlawanan
terhadap VOC.
Kisah di atas merupaakan salah satu contoh perlawanan rakyat Indonesia di
Sulawesi Selatan terhadap persekutuan dagang VOC. Masih banyak perlawanan di
berbagai daerah dalam melawan persekutuan dagang Eropa di Indonesia. Kegiatan
belajar berikut ini akan membantu kamu menelusuri berbagai perlawanan di berbagai
daerah dalam menentang persekutuan dagang Barat.
Perjanjian Bongaya adalah perjanjian antara Sultan Hasanuddin dengan VOC,
yang isinya:
1) VOC mendapatkan wilayah yang direbut oleh Sultan Hasanuddin selama perang
Gowa dan Tallo.
2) Bima diserahkan kepada VOC.
3) Kegiatan pelayaran para pedagang Makassar dibatasi dibawah pengawasan
VOC.
4) Penutupan Makassar sebagai bandar perdagangan bagi bangsa Barat, kecuali
VOC.
5) Monopoli oleh VOC.
6) Alat tukar/mata uang yang digunakan di Makassar adalah mata uang Belanda.
7) Pembebasan cukai dan penyerahan 1.500 budak kepada VOC.
Pada tahun 1799 terjadi peristiwa penting dalam sejarah kolonialisme dan
imperialisme Barat di Indonesia. VOC dinyatakan bangkrut hingga dibubarkan.
Keberadaan VOC sebagai kongsi dagang yang menjalankan roda pemerintahan di
negeri jajahan seperti di Indonesia tidak dapat dilanjutkan lagi. Pada tanggal 31
Desember 1799 VOC dinyatakan bubar. Semua utang piutang dan segala milik VOC
diambil alih oleh pemerintah Belanda. Setelah dibubarkannya VOC Indonesia berada
langsung di bawah pemerintah Hindia Belanda.
b. Perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda
Beberapa contoh perlawanan rakyat Indonesia
terhadap Pemerintah Hindia Belanda adalah sebagai berikut:
1) Perang Saparua di Ambon
Merupakan perlawanan rakyat Ambon dipimpin Thomas Matulesi (Pattimura).
Dalam pemberontakan tersebut, seorang pahlawan wanita bernama Christina
Martha Tiahahu melakukan perlawanan dengan berani. Perlawanan Pattimura dapat
dikalahkan setelah bantuan pasukan Belanda dari Jakarta datang. Pattimura bersama
tiga pengikutnya ditangkap dan dihukum gantung.
2) Perang Paderi di Sumatra Barat
Merupakan perlawanan yang sangat menyita tenaga dan biaya sangat besar bagi
rakyat Minang dan Belanda. Bersatunya Kaum Paderi (ulama) dan kaum adat melawan
Belanda, menyebabkan Belanda kesulitan memadamkannya. Bantuan dari Aceh juga
datang untuk mendukung pejuang Paderi. Belanda benar-benar menghadapi musuh
yang tangguh.
Belanda menerapkan sistem pertahanan Benteng Stelsel. Benteng Fort de
Kock di Bukit tinggi dan Benteng Fort van der Cappelen merupakan dua benteng
pertahanannya. Dengan siasat tersebut akhirnya Belanda menang ditandai jatuhnya
benteng pertahanan terakhir Paderi di Bonjol tahun 1837. Tuanku Imam Bonjol
ditangkap, kemudian diasingkan ke Priangan, kemudian ke Ambon, dan terakhir di
Menado hingga wafat tahun 1864.
3) Perang Diponegoro 1825-1830
Perang Diponegoro merupakan salah satu perang besar yang dihadapi Belanda.
Latar belakang perlawanan Pangeran Diponegoro diawali dari campur tangan
Belanda dalam urusan politik Kerajaan Yogyakarta. Beberapa tindakan Belanda yang
dianggap melecehkan harga diri dan nilai-nilai budaya masyarakat menjadi penyebab
lain kebencian rakyat kepada Belanda. Belanda membangun jalan baru pada bulan
Mei 1825. Mereka memasang patok-patok pada tanah leluhur Diponegoro. Terjadi
perselisihan saat pengikut Diponegoro Patih Danureja IV mencabuti patok-patok
tersebut. Belanda segera mengutus serdadu untuk menangkap Pangeran Diponegoro.
Perang tidak dapat dihindarkan, pada tanggal 20 Juli Tegalrejo sebagai basis pengikut
Diponegoro direbut dan dibakar Belanda.
Pada bulan Maret 1830 Diponegoro bersedia mengadakan perundingan dengan
Belanda di Magelang, Jawa Tengah. Perundingan tersebut hanya sebagai jalan
tipu muslihat karena ternyata Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado,
kemudian ke Makasar hingga wafat tahun 1855. Setelah berakhirnya Perang Jawa
(Diponegoro), tidak lagi muncul perlawanan yang lebih berat di Jawa.
4) Perang Aceh
Semangat jihad (perang membela agama Islam) merupakan spirit perlawanan
rakyat Aceh. Jendral Kohler terbunuh saat pertempuran di depan masjid Baiturrahman
Banda Aceh. Kohler meninggal dekat dengan pohon yang sekarang diberi nama
Pohon Kohler. Siasat konsentrasi stelsel dengan sistem bertahan dalam benteng besar
oleh Belanda tidak berhasil. Belanda semakin terdesak, korban semakin besar, dan
keuangan terus terkuras.
Belanda sama sekali tidak mampu menghadapi secara fisik perlawanan rakyat
Aceh. Menyadari hal tersebut, Belanda mengutus Dr. Snouck Hurgroje yang
memakai nama samaran Abdul Gafar seorang ahli bahasa, sejarah ,dan sosial Islam
untuk mencari kelemahan rakyat Aceh. Setelah lama belajar di Arab, Snouck Hugronje
memberikan saran-saran kepada Belanda mengenai cara mengalahkan orang Aceh.
Menurut Hurgronje, Aceh tidak mungkin dilawan dengan kekerasan, sebab karakter
orang Aceh tidak akan pernah menyerah, jiwa jihad orang Aceh sangat tinggi.
Taktik yang paling mujarab adalah dengan mengadu domba antara golongan
Uleebalang (bangsawan) dengan ulama. Belanda menjanjikan kedudukan pada
Uleebalang yang bersedia damai. Taktik ini berhasil, banyak Uleebalang yang tertarik pada tawaran Belanda. Belanda memberikan tawaran kedudukan kepada
para Uleebalang apabila kaum ulama dapat dikalahkan. Sejak tahun 1898 kedudukan
Aceh semakin terdesak. Belanda mengumumkan perang Aceh selesai tahun 1904.
Namun demikian perlawanan sporadis rakyat Aceh masih berlangsung hingga tahun
1930-an.
(Sumber: di kutip dari e-book Ilmu Pengetahuan Sosial K-13 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar